Teritori Ekstraksi
Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia
Mengapa teritori?
Dalam proyek EPICC, kami menggunakan konsep teritori untuk memahami dan mendiskusikan bagaimana rantai komoditas global beroperasi di tiga wilayah tropis yang memiliki keanekaragaman hayati dan sosial yang tinggi di belahan bumi selatan. Sebuah teritori bukan hanya sebuah wilayah yang secara resmi dibatasi oleh kuasa pemerintah sebagai ruang administratif yang terbatas, tetapi juga merupakan sumber hubungan ekologis yang terjadi di ruang yang kompleks dan politis di mana konflik, kekuasaan asimetris, berbagai tingkat pemerintahan dan tata kelola (termasuk swasta dan internasional) ikut bermain. Sebuah wilayah dipenuhi oleh hubungan sosial-lingkungan, konstruksi dan teka-teki sosio-legal, serta interkoneksi sosio-keanekaragaman hayati.
Kepulauan Bangka Belitung
Kepulauan Bangka Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia. Provinsi ini terletak di lepas pantai tenggara Sumatra dan terdiri dari dua pulau utama – Bangka dan Belitung – dengan ibu kota dan kota terbesarnya adalah Pangkalpinang, yang secara geografis terletak di Pulau Bangka. Provinsi ini berbatasan dengan Selat Bangka di sebelah barat, Laut Natuna di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah selatan, dan Selat Karimata di sebelah timur. Provinsi ini memiliki luas wilayah 16.690 km2 dengan populasi 1.455.678 jiwa pada tahun 2020. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, wilayah ini dikelola sebagai bagian dari provinsi Sumatra dan kemudian Sumatra Selatan. Pada tahun 2000, Bangka Belitung menjadi provinsi sendiri dan resmi menjadi provinsi ke-31 di Indonesia pada tahun itu.
Bangka Belitung pada awalnya dihuni oleh “orang laut” yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia yang tinggal dan melakukan perjalanan dengan perahu serta mencari nafkah dengan menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut. Dalam proses akulturasi yang panjang, berbagai kelompok etnis datang ke pulau ini. Di antaranya yang paling banyak adalah Melayu, Tionghoa, dan Jawa. Sebagai kelompok etnis terbesar di provinsi ini, orang Melayu membentuk sekitar 52,5% dari total populasi dan sebagian besar bekerja di industri pertanian atau perikanan. Di sisi lain, orang Tionghoa membentuk sekitar 29,1% dari populasi dan secara tradisional bekerja di industri pertambangan atau membangun bisnis mereka sendiri. Penduduk asli yang terdiri dari beberapa suku perbukitan juga tinggal di wilayah ini dan hidup dengan berburu, memancing, dan mengumpulkan hasil hutan. Padi, lada, kopi gambir, dan pohon kelapa dibudidayakan di pulau ini. Meskipun sumber mata pencaharian penduduknya cukup beragam, nama “Bangka” berasal dari kata wangka yang berarti “timah” dalam bahasa Sansekerta, karena wilayah ini kaya akan deposit timah dan kegiatan penambangan yang sudah ada sejak zaman penjajahan.
Wilayah administrasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia.
Meskipun memiliki dataran tinggi, lembah, pegunungan, perbukitan, dan seluruhnya dikelilingi oleh perairan, Bangka Belitung memiliki iklim khatulistiwa dengan tutupan hutan hujan tropis dan vegetasi yang luas. Kawasan hutan terluas di Provinsi Bangka Belitung berada di Kabupaten Bangka Selatan dengan total 136.626 hektare, yang terdiri dari 27.557 hektare hutan lindung, 106.153 hektare hutan produksi, dan 2.914 hektare hutan konservasi. Hutan produksi difokuskan untuk menghasilkan beberapa jenis komoditas kehutanan, yaitu kayu dan produk turunannya. Meskipun provinsi ini memiliki berbagai jenis kayu berkualitas yang diperdagangkan ke luar daerah, namun hutan hujan yang ada semakin berkurang karena deforestasi akibat kegiatan pertambangan dan pertanian.
Hingga tahun 2023, pemerintah pusat telah menerbitkan 220 izin pertambangan timah dengan total luas 511.361 hektare, yang sebagian besar berlokasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jumlah tersebut terdiri dari total area darat seluas 327.524 hektare dan lepas pantai seluas 183.837 hektare. PT Timah Tbk, perusahaan timah milik negara, memiliki 127 dari izin-izin tersebut dengan wilayah kerja yang sebagian besar berada di provinsi ini – cakupan wilayah kerja daratnya adalah 288.716 hektare dan wilayah lepas pantai 184.672 hektare. Jumlah ini cukup signifikan untuk menunjukkan bahwa PT Timah Tbk mendominasi operasi penambangan dan pengolahan timah skala industri di wilayah tersebut, yang berkontribusi terhadap 90% produksi timah nasional.
Masalah lingkungan yang paling mendesak di wilayah ini berasal dari praktik-praktik penambangan timah baik formal maupun informal. Menyusul kebijakan Kabupaten Bangka pada tahun 2001 yang mengizinkan masyarakat untuk menambang timah, tambang timah tradisional di daratan telah menyebabkan tidak hanya deforestasi tetapi juga pencemaran air sumur, sementara operasi lepas pantai telah menjadi ancaman bagi terumbu karang dan merusak tempat berkembang biak ikan. Di antara masalah yang paling umum terjadi adalah “kolong” atau cekungan air/lubang sebagai dampak dari aktivitas pasca-penambangan timah. Penambangan inkonvensional di sekitar kolong menyebabkan kontaminasi air oleh logam berat dari tailing. Hingga tahun 2018, terdapat 12.607 kolong dengan total luas 15.579 hektare. Dengan sistem tambang terbuka, penambangan timah telah menimbulkan dampak yang merugikan terhadap aspek biofisik sumber daya lahan dan lingkungan, antara lain kerusakan struktur tanah, perubahan tekstur tanah, hilangnya bahan organik tanah, dan berkurangnya kesuburan tanah. Penambangan juga mengakibatkan hilangnya sejumlah biota penting yang menyediakan jasa lingkungan seperti penyediaan hasil hutan, stabilitas tanah, menjaga siklus hidrologi, dan penyerapan karbon.