Neokolonialisme Yang Tertanam Dalam Regulasi Produk Bebas Deforestasi (EUDR) Uni Eropa

1. Pendahuluan

Uni Eropa memainkan peran historis dan kontemporer dalam perluasan ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam dengan mengorbankan keanekaragaman sosio-ekologis di wilayah produksi. Tingginya permintaan Eropa terhadap akses pangan yang terjangkau dapat ditelusuri kembali ke konfigurasi hirarki produksi,  serta pengolahan dan konsumsi makanan yang diciptakan oleh negara-negara metropolitan kolonial dengan mengorbankan negara-negara yang berada di ujung sistem pangan global.

Sejak diadopsi, Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa 2023/1115 (EUDR) diapresiasi sebagai program perintis yang sejalan dengan rencana aksi Uni Eropa yang lebih luas untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan yang diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019 tentang Meningkatkan Aksi Uni Eropa untuk Melindungi dan Memulihkan Hutan Dunia. Komisi Eropa, khususnya, mengakui hal tersebut: “sebagai ekonomi utama dan konsumen dari komoditas-komoditas yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan, Uni Eropa turut bertanggung jawab atas masalah ini dan ingin menjadi pelopor dalam penyelesaiannya“. Dengan demikian, Uni Eropa pada dasarnya berupaya melampaui gagasan bahwa jarak geografis dan hukum dapat mengalihkan tanggung jawab politik dan hukum mereka, dan bahwa otoritas publik tidak memiliki keterlibatan dalam operasi produksi di wilayah asal rantai pasok global (Global Value Chain/GVC) yang berakhir di pasar mereka.

Meskipun pengakuan atas peran warga negara di Uni Eropa dan kontribusi perusahaan dalam permasalahan global merupakan suatu tonggak sejarah yang tidak boleh diabaikan, artikel ini berargumen bahwa wacana Uni Eropa mengenai EUDR (dan juga agenda penghijauan yang lebih luas yang terkandung dalam Kesepakatan Hijau Uni Eropa) tidak lebih dari sekadar pengakuan atas masalah tersebut. Faktanya, kami berpendapat bahwa Uni Eropa mengakui, namun gagal untuk mengakui peran historis Eropa dalam kerusakan ekologis yang diakibatkan oleh sistem produksi yang intensif dan hemat biaya di wilayah lain. Eropa, pada sejarahnya, juga menormalisasi produksi komoditas global sebagai sesuatu yang tak terelakkan dan dikehendaki. Oleh karena itu, artikel ini secara kritis menyoroti beberapa aspek neo-kolonial yang mendasari EUDR, baik dalam hal asumsi epistemik dan bentuk intervensi yang diusulkan. Dalam kontribusi ini, kami berargumen bahwa kekhawatiran mengenai kontribusi Eropa terhadap deforestasi dan degradasi hutan global tidak dapat dikurangi dan diperbaiki dengan mempromosikan komoditas yang ‘lebih hijau’ serta perdagangan yang ‘berkelanjutan’. Hal ini dikarenakan praktik-praktik tersebut hanya akan memperkuat model pembangunan yang dominan secara historis dan sistem pangan hegemonik yang berakar pada sejarah kolonial.

2. Mengungkap Neokolonialisme di dalam EUDR

2. 1. Mentalitas Neoliberal dan Ekstraksi Keuntungan dari Alam

Pemerintahan kolonial Eropa dibangun di atas aturan yang berpusat di Eropa, mereproduksi kebenaran universal tentang hubungan manusia dan alam, politik kekuasaan asimetris, dan ketentuan kebijakan perdagangan ekonomi. Blok perdagangan Uni Eropa secara historis telah mendorong pergeseran budaya dan sosio-ekonomi yang bertujuan untuk menciptakan sistem produksi dan distribusi yang memfasilitasi konsumsi sumber daya secara berlebihan oleh kekuatan-kekuatan Eropa. Sejarah campur tangan ‘Global North’ di ‘Global South’ tidak hanya menghapus bentuk-bentuk pengetahuan dan cara hidup lain di berbagai wilayah—yang pada dasarnya mengkonstruksi alam sebagai sesuatu yang dapat diambil—tetapi juga memupuk relasi pertukaran material yang tidak setara, di mana ‘Global North’ mengambil sumber daya dan surplus ekonomi dari wilayah lain. Secara khusus, model produksi global dan distribusi komoditas pertanian yang dibangun oleh Uni Eropa selama berabad-abad berkontribusi pada hilangnya kapasitas regenerasi masyarakat dan planet ini. Model tersebut juga berkontribusi secara signifikan terhadap maraknya permasalahan ekologis dan kedaruratan iklim yang dialami oleh sebagian besar wilayah di seluruh dunia. Selain itu, melalui FTA dan upaya historis dalam mendorong produksi pertanian skala besar yang bergantung pada komoditas impor, Uni Eropa mengukuhkan ‘Global South’ sebagai ekonomi ekstraktif yang mengarah pada beban lingkungan dan biaya sosial di wilayah tersebut. Oleh karena itu, produksi komoditas yang berkontribusi pada deforestasi melanggengkan proses yang seringkali bersifat kolonial dan berakar pada eksploitasi sumber daya alam serta dinamika kekuasaan yang tidak setara antar wilayah. Deforestasi, dalam pengertian ini, merupakan “gejala ketidakadilan yang mengakar dalam ekonomi global”.1

Gambar 1: Kontainer pengiriman di Singapura | Foto oleh Chuttersnap at  Unsplash

Sama halnya dengan ‘kebijakan hijau’ Uni Eropa lainnya, EUDR gagal untuk mengatasi permasalahan di atas. Penyebab deforestasi yang berakar pada sejarah, termasuk praktik-praktik kolonial, kekerasan, perampasan material dan perampasan sumber daya alam oleh kekuatan-kekuatan global, tidak dibahas dalam peraturan tersebut. EUDR juga tidak membahas hegemoni imperialisme sumber daya yang semakin kuat dalam pembagian kerja global. Hal ini melanggengkan gagasan bahwa ‘Global South’ beroperasi sebagai ekonomi ekstraktif untuk menyediakan kebutuhan industri bagi negara-negara Utara. Pada dasarnya, konstruksi ‘wacana hijau’ oleh Komisi Eropa mencampuradukkan kebijakan pembangunan liberal dengan pembangunan berkelanjutan yang hijau: yang satu menjadi fungsi dari yang lain. Upaya-upaya untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan yang diakibatkan oleh konsumsi Uni Eropa diterjemahkan ke dalam kebijakan dan tindakan (misalnya, dukungan terhadap praktik-praktik yang berorientasi pada pasar, dukungan terhadap petani kecil dalam rantai nilai, kemitraan untuk mencapai ‘produksi komoditas yang berkelanjutan’ yang lebih besar, dan sebagainya) yang tidak mempertanyakan proyek modernisasi itu sendiri. Hal ini termasuk ketidaksetaraan yang tertanam dalam produksi, perdagangan, dan konsumsi komoditas yang mendorong terjadinya deforestasi. Demikian pula, upaya Uni Eropa untuk menghasilkan produk bebas deforestasi tidak selaras dengan kebijakan dan dinamika perdagangan yang berpihak pada kepentingan ekonomi, sehingga memperkuat hubungan ketergantungan dan dominasi blok tersebut dalam hirarki global.2 Ketika akar penyebab deforestasi diabaikan, deforestasi dan degradasi hutan akan terus berlanjut dan bahkan memperparah ketimpangan yang menjadi inti dari sistem tersebut.

3. Ketidakadilan Epistemik dan Ontologis

Sejalan dengan ‘kebijakan hijau’ Uni Eropa lainnya yang bertujuan untuk mempromosikan Uni Eropa sebagai pemimpin global dalam aksi iklim, EUDR bertujuan untuk memberikan pengaruh pada kebijakan bebas deforestasi di seluruh dunia. EUDR seringkali dilabeli sebagai undang-undang yang ‘paling ambisius’ dan ‘paling maju’ oleh para pendukung Uni Eropa dengan menentang kebijakan-kebijakan bebas deforestasi yang sudah ada seperti Undang-Undang Lingkungan Hidup di Inggris dan mempromosikan kerangka kerja yang kuat untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan. Melalui EUDR, Uni Eropa berupaya menetapkan standar baru untuk memerangi deforestasi dan degradasi hutan serta memicu ‘kaskade norma‘. Dalam hal ini, wacana mengenai peran penting Uni Eropa dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan telah dipromosikan secara aktif oleh para pejabat Uni Eropa dan juga mendapat dukungan dari organisasi-organisasi lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang berpengaruh di Eropa. Namun, kami berpendapat bahwa dukungan-dukungan tersebut memperkuat hegemoni Eurosentris saat ini dan menekan wacana apapun yang bertentangan dengan kerangka kerja penghijauan rantai nilai komoditas serta kapitalisme global yang sudah ada. Selain itu, meskipun para aktor Uni Eropa menggambarkan diri mereka sebagai simbol ‘keberlanjutan global’ dan menciptakan persepsi tentang keistimewaan Eropa, narasi ini mengalihkan perhatian masyarakat dari beberapa pendorong utama deforestasi. Beberapa elemen dari peraturan tersebut menggarisbawahi kekhawatiran di atas.

  • Pertama, Uni Eropa menjabarkan kebutuhan untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan (dan hilangnya keanekaragaman hayati serta perubahan iklim) dengan menggunakan lensa kolonial khas perlindungan lingkungan. Lensa ini sebagian besar mengabaikan cara hidup dan sistem pengetahuan yang berbeda (mis. praktik tebang habis). Pengetahuan dan praktik tersebut dikorbankan demi ‘tata kelola yang lebih baik’ dan pemahaman keberlanjutan berdasarkan standar Uni Eropa.3 Meskipun visi Eurosentris tentang hubungan manusia-alam mendominasi proses tersebut, kurangnya perhatian yang diberikan kepada pemahaman yang berbeda tentang alam dan hutan oleh masyarakat adat, masyarakat lokal, petani dan peternak justru melemahkan tujuan EUDR untuk mengatasi dinamika deforestasi dan degradasi hutan secara global. Narasi ini mengabaikan fakta terkait penguasaan yang tidak adil atas tanah adat dan pemaksaan visi tertentu tentang bagaimana tanah harus digunakan (secara menguntungkan untuk ekspor) dengan mengorbankan masyarakat adat, masyarakat lokal, petani, buruh tani, dan kelompok-kelompok lain di wilayah tersebut.4 Lebih jauh lagi, pola pikir ini tidak hanya melegitimasi, namun juga memperparah eksploitasi dan dominasi Uni Eropa di wilayah-wilayah produksi dengan kedok praktik yang seolah-olah bebas dari deforestasi. Dengan demikian, ketidakadilan epistemik dan ontologis direproduksi dengan mengeksklusi sistem pengetahuan, perspektif, dan cara hidup tertentu.
  • Kedua, intervensi EUDR dianggap benar dan perlu didorong atas nama ‘kebaikan bersama’. Hal ini membuat EUDR dan blok Uni Eropa dianggap sebagai pelopor ‘kekuatan untuk kebaikan’, sementara yang lain perlu terus-menerus ‘mengejar ketertinggalan’ mereka dengan standar internasional. Sebagai contoh, sistem perbandingan negara bekerja melalui kategorisasi negara dan penciptaan hierarki. Meskipun mekanisme ini dirancang dalam rangka mendukung pihak berwenang di negara anggota Uni Eropa untuk memberlakukan pemeriksaan yang berbeda terhadap operator berdasarkan tingkat risiko negara tersebut, Uni Eropa juga menganggapnya sebagai insentif bagi negara-negara produsen untuk meningkatkan ‘keberlanjutan’ sistem produksi pertanian mereka dan meminimalkan dampaknya terhadap deforestasi. Diskusi dengan para pejabat Uni Eropa mengungkap bahwa Komisi Eropa membingkai mekanisme tersebut sebagai ‘peluang’ bagi negara-negara mitra yang diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi untuk terlibat dalam kerja sama dengan Uni Eropa. Hal ini memerlukan pengembangan dialog lintas-batas di luar kerangka kerja EUDR dengan tujuan untuk membangun hubungan antara aktor politik dalam peraturan tersebut, serta mendorong sistem hutan ‘berkelanjutan’ dan ‘sistem pangan berkelanjutan’ yang lebih luas, seperti yang didefinisikan oleh Uni Eropa. Dengan demikian, Uni Eropa pada dasarnya mendorong solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) yang akan didapatkan oleh para mitra dagang jika mereka tunduk pada standar hijau Uni Eropa.
  • Ketiga, Uni Eropa membingkai deforestasi sebagai fenomena yang terkait dengan berbagai tantangan dalam tata kelola dan memposisikan negara-negara lain sebagai pihak yang harus memperbaiki kerangka kerja pengaturan mereka untuk mencapai posisi yang lebih tinggi dari EUDR. Sebagai contoh, Uni Eropa melihat kemitraan dan kerja sama internasional dengan negara-negara produsen dan konsumen sebagai langkah penting untuk mendorong pola produksi dan konsumsi yang ‘berkelanjutan’ secara global. Secara khusus, Pasal 30 EUDR memperkirakan bahwa Komisi Eropa akan memainkan peran penting dalam menciptakan ‘arena tata kelola global’ melalui pendekatan-pendekatan yang terkoordinasi dengan negara-negara produsen, termasuk melalui dialog terstruktur, pengaturan administratif, dan perjanjian yang ada. Penekanan diberikan pada keharusan Uni Eropa untuk memperkuat kemitraan dan kerja sama yang bertujuan “mendukung atau memulai dialog yang inklusif dan partisipatif terhadap proses reformasi hukum dan tata kelola nasional untuk meningkatkan tata kelola hutan dan mengatasi faktor-faktor domestik yang berkontribusi terhadap deforestasi” (penekanan ditambahkan). Dengan melakukan hal tersebut, Uni Eropa memposisikan dirinya sebagai ‘intervener moral’ yang secara aktif terlibat di negara-negara pinggiran dan membantu memperbaiki kebijakan yang dianggap kurang dan tidak ambisius bagi agenda iklim global. Dalam hal ini, Uni Eropa berupaya membantu negara-negara yang membutuhkan pengembangan kapasitas agar dapat berkontribusi mewujudkan ambisi lingkungan yang ditetapkan sendiri oleh Uni Eropa. Setelah Uni Eropa memutuskan untuk mendorong prinsip-prinsip ‘berkelanjutan’ dan menangani masalah iklim, dualisme moral kemudian muncul di antara entitas yang menjunjung tinggi norma dengan entitas yang dianggap harus didorong agar mengadopsi norma tersebut—atau antara kekuatan yang memiliki pengetahuan dan yang dianggap tidak memilikinya. Narasi ini melanggengkan hubungan ketergantungan antara Uni Eropa dan negara-negara lain, serta mendorong kemungkinan untuk membangun ‘aturan main’ yang setara meskipun masih terdapat permasalahan tingkat ekonomi tidak merata dan isu struktural yang mendasarinya. Demikian pula, diskusi dengan para pejabat Uni Eropa menyoroti bahwa Uni Eropa berupaya menciptakan ‘pendekatan nol deforestasi’ dengan membatasi keterlibatan negara-negara ketiga dalam diskusi EUDR. Hal ini dilakukan untuk menghindari ketergantungan Uni Eropa pada definisi yang diberikan oleh hukum setempat di wilayah produksi. Definisi-definisi tersebut dianggap akan membingungkan dan tidak dapat diandalkan karena adanya kemungkinan perubahan dari waktu ke waktu. Namun, cara pandang ini mengabaikan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara dan aktor-aktor nasional untuk mencapai standar lain yang lebih tinggi daripada yang ditetapkan oleh EUDR.

Oleh karena itu, sejumlah negara produsen menyampaikan keprihatinan atas isi dari EUDR serta mengungkap nuansa neo-kolonial dan pemaksaan sepihak dari Uni Eropa. Solidaritas visi dan posisi Uni Eropa dengan negara-negara lain diuji ketika wacana hijau diuniversalkan dengan cara yang tidak kontekstual dengan tanggung jawab historis Eropa dan tidak sesuai dengan pemahaman akan dampak sosial-ekonomi di level lokal. Negara-negara produsen secara khusus menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap peraturan tersebut, termasuk pilihan atas legislasi sepihak alih-alih keterlibatan internasional, serta pengabaian terhadap kondisi lokal, legislasi nasional yang sudah ada, dan upaya-upaya untuk memerangi deforestasi. Secara khusus, mereka menyatakan pandangan mereka bahwa EUDR adalah tindakan ‘menghukum’ yang ditargetkan pada negara-negara dengan hutan tropis yang dianggap menghambat kapasitas Eropa untuk mengejar pembangunan ekonomi melalui sumber daya alam negara-negara tersebut. Mereka menekankan kembali CBDR-RC sebagai kerangka yang digunakan untuk mendorong prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda-beda sesuai kemampuan masing-masing, serta peran historis Uni Eropa dalam deforestasi dan perubahan iklim global.

Gambar 2: Pelabuhan Cargill di Santarém, Pará | Foto oleh Tomaso Ferrando

4. Pengabaian Prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC)

Kebutuhan untuk melindungi ekosistem dan hutan di seluruh dunia telah ditegaskan kembali oleh para pemimpin dunia dalam beberapa kesempatan. Secara khusus, EUDR menggarisbawahi tanggung jawab masyarakat saat ini dan di masa depan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan global terkait dengan konsumsi komoditas tertentu.5 Namun, EUDR tidak secara serius menyinggung tanggung jawab terkait dan mengabaikan prinsip CBDR-RC yang diabadikan dalam Perjanjian UNFCCC dan Perjanjian Paris 2015. Menurut prinsip tersebut, upaya mengatasi krisis lingkungan saat ini tidak dapat dilakukan hanya dengan mengakui permasalahan tersebut sebagai tanggung jawab bersama, namun juga mengakui tanggung jawab historis dan tanggung jawab yang berbeda oleh negara-negara industri yang berperan signifikan dalam menciptakan degradasi lingkungan, serta kapasitas negara yang berbeda untuk bertindak dalam merespons permasalahan tersebut. Upaya untuk mematuhi prinsip ini memerlukan pertimbangan dan persyaratan yang berbeda.

Pertama, kepatuhan terhadap prinsip CBDR-RC mengharuskan Uni Eropa untuk mengakui peran historisnya dalam kerusakan ekologis dan kontekstualisasinya dalam upaya pengaturan dinamika global saat ini melalui EUDR. Uni Eropa tidak dapat membangun tata kelola yang setara tanpa mengakui adanya ketimpangan di antara para pemangku kepentingan yang dibentuk di atas penjajahan dan ketergantungan ekonomi. Uni Eropa juga harus aktif berpartisipasi dalam mendorong keadilan dengan memenuhi tanggung jawab historisnya, dan mengatasi dampak dari perampasan yang telah dilakukan Eropa secara terus menerus kepada sumber daya di Global South. Namun, kebijakan tolok ukur temporal merefleksikan EUDR sebagai alat yang prospektif, yang secara eksklusif menangani deforestasi dan degradasi hutan mulai tanggal 30 Desember 2020 dan seterusnya. Peraturan ini mengabaikan peran historis Uni Eropa dalam deforestasi global yang merupakan warisan kolonial Eropa di luar negeri, serta mengabaikan kesinambungan dan warisan deforestasi yang sudah ada. Meskipun peraturan tersebut diharapkan dapat secara efektif mengurangi deforestasi dari komoditas yang memasuki pasar Uni Eropa di masa mendatang, Uni Eropa masih memikul tanggung jawab atas impornya di masa lalu.

Hal ini diperkuat dengan langkah-langkah yang diusulkan dalam naskah EUDR. Prinsip CBDR-RC mengharuskan produsen untuk memperhitungkan posisi relatifnya dalam kontribusi emisi dan perdagangan, serta perbedaan kemampuan yang berakar pada tingkat pembangunan yang berbeda. Namun, terdapat dua pengamatan yang muncul dari penelitian kami. Pertama, EUDR tidak mempertimbangkan kapasitas negara yang berbeda-beda dan gagal untuk membedakan karakter negara-negara yang bervariasi (misalnya pendekatan satu ukuran untuk semua; definisi deforestasi yang bersifat internasional dan umum; dll.). Kedua, EUDR berupaya mendorong negara-negara industri untuk memberikan kompensasi kepada negara-negara yang kurang berkembang atas upaya mereka dalam mengurangi emisi karbon dari sumber berbasis hutan. Hal ini terutama dilakukan dengan mendukung undang-undang, lembaga dan kebijakan nasional yang terkait dengan hal ini. Namun, meski EUDR menjanjikan kemitraan baru dengan negara-negara produsen (Pasal 30 EUDR), alokasi sumber daya oleh delegasi Uni Eropa ke negara-negara mitra masih belum jelas dan sebagian besar berorientasi kepada praktik-praktik berbasis pasar.

Terakhir, kesetaraan dan hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan prinsip utama dalam rezim kebijakan iklim global dan prinsip-prinsip keadilan iklim seperti yang diakui dalam mukadimah Perjanjian Paris dan laporan IPCC terbaru. Namun, pemaksaan sepihak yang dilakukan Uni Eropa untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan global melalui EUDR ini memberikan beban yang tidak adil bagi negara-negara produsen. Negara-negara tersebut telah mengajukan banyak keberatan mengenai ketentuan yang diuraikan dalam peraturan tersebut, termasuk aspek kedaulatan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan dampaknya terhadap masyarakat lokal6. Meskipun Uni Eropa merujuk pada undang-undang deforestasi nasional untuk menentukan standar legalitas yang mendasari EUDR, EUDR tetap berfungsi sebagai peraturan unilateral yang menerapkan pembatasan dari sisi permintaan dan standar nol-deforestasi yang bersifat universal kepada mitra dagang. Sebagaimana dibuktikan oleh para narasumber yang kami wawancarai, diskusi mengenai adaptasi EUDR terhadap prioritas dan kekhasan nasional seringkali dihindari. Pembatasan dari sisi permintaan juga didasarkan pada prinsip “Tidak Ada Alternatif Lain” (TINA) dan urgensi untuk bertindak cepat. Dari perspektif utilitarian, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan terkait efektivitas peraturan tersebut karena penelitian sebelumnya telah menunjukkan pentingnya konteks peraturan domestik untuk mendorong efektivitas undang-undang uji tuntas lingkungan yang baru. (7)

5. Kesimpulan

Pengadopsian EUDR menjadi langkah penting untuk mendorong peran Uni Eropa dalam mengatasi permasalahan degradasi ekologi global. Namun, seperti yang telah digarisbawahi, peraturan ini tidak cukup untuk mengatasi masalah-masalah historis dan sistemik yang melanggengkan ketimpangan sosio-ekologis. Narasi Uni Eropa tentang deforestasi dan degradasi hutan mengabaikan asimetri kekuasaan yang telah ada secara historis, pertukaran yang tidak adil dan ketimpangan material antara Global North dan Global South, serta membatasi pemberdayaan aktor-aktor lokal dan pengakuan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Sebagian dari masalah di atas berasal dari upaya Uni Eropa untuk mengarahkan perilaku dan kebijakan negara dalam mengatasi deforestasi dan degradasi hutan berdasarkan standar ‘deforestasi’ mereka sendiri. EUDR tidak banyak membahas cara-cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan konsumsi komoditas agro yang lebih murah di Uni Eropa, seperti mengurangi ketergantungannya pada komoditas ekspor. Padahal, hal ini menjadi faktor yang signifikan dalam memperparah ketimpangan dan kerusakan lingkungan di wilayah produksi. Peraturan tersebut mereproduksi cara pandang yang lebih umum dan kompleks tentang ketidakadilan, dimana cara pandang ini terbentuk secara historis dari tingkat lokal hingga nasional dan terwujud dalam rantai pertanian global yang mengandalkan deforestasi besar-besaran dan peran Global South sebagai penyedia bahan mentah untuk Utara. (8)

Dari perspektif dekolonial, pembangunan yang bebas deforestasi tidak dapat terwujud hanya dengan mengatur dan membatasi perdagangan komoditas yang berasal dari hutan. Sebaliknya, hal ini harus dimulai dengan mendorong pengakuan, perbaikan, dan restorasi yang bermakna atas kekerasan dan perampasan di masa lalu. Hal ini dilakukan tidak hanya dengan memberikan imbalan ekonomi, namun juga dengan menciptakan kondisi dan faktor-faktor yang memungkinan terwujudnya kehidupan yang lebih baik di masa depan. Dengan menggunakan kata-kata Walter Rodney, upaya ini membutuhkan pengakuan atas peran penting yang dimainkan oleh ‘Dunia Ketiga’—termasuk masyarakat dan sumber daya alamnya—dalam pembangunan Eropa, dan menghadapi fakta bahwa negara-negara tersebut tetap ‘terbelakang’. Karenanya, politik dominasi dan eksploitasi yang terlihat dalam sikap universalis EUDR harus dihilangkan. Ketiga, pendekatan struktural dan dekolonial mengharuskan adanya cara pandang deforestasi sebagai isu lintas batas yang mencakup keadilan rasial, gender, dan ekonomi, dan tidak dapat diatasi hanya dengan memberikan sanksi dan menciptakan rute perdagangan agrikultur untuk perdagangan global yang ‘hijau’.

Deforestasi, degradasi hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati harus dilihat sebagai fenomena sistemik global yang berkaitan dengan kesejahteraan di Eropa dan negara-negara Barat lainnya, bukan hanya dengan lemahnya tata kelola dan akuntabilitas negara produsen. Mengakui keterkaitan antara wilayah dan integrasi mereka ke dalam rantai pasok global yang didorong oleh perdagangan internasional menjadi penting. (9) Dalam hal ini, penanganan deforestasi dan degradasi hutan perlu memikirkan kembali hukum dan kebijakan neoliberal yang mengekang dan membentuk wilayah dalam rantai pasok global. Kebijakan ini memberikan ruang yang terbatas bagi alternatif ekonomi dan politik yang mungkin muncul. Intervensi berupa peraturan terkait perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan deforestasi global tidak boleh didorong oleh pertimbangan internal Uni Eropa atau dinamika ekonomi kapitalistik yang melanggengkan interaksi eksploitatif antara manusia dan alam. Intervensi tersebut harus diarahkan menuju perbaikan struktur pertukaran ekologis dan ekonomi global yang timpang.

Referensi

  1. Kumeh, E. M., & Ramcilovic-Suominen, S. (2023). Apakah Uni Eropa melalaikan tanggung jawab atas jejak deforestasinya di negara-negara tropis? Ketidaksetaraan kekuasaan, materi, dan epistemik dalam tata kelola lingkungan global Uni Eropa. Ilmu Keberlanjutan, 18(2), 612.
  2. Kumeh, E. M., & Ramcilovic-Suominen, S. (2023). Apakah Uni Eropa melalaikan tanggung jawab atas jejak deforestasinya di negara-negara tropis? Ketidaksetaraan kekuasaan, materi, dan epistemik dalam tata kelola lingkungan global Uni Eropa. Ilmu Keberlanjutan, 18(2), 602.
  3. Turnhout, E. (2024). Pengetahuan yang lebih baik adalah mungkin: Mentransformasi ilmu lingkungan untuk keadilan dan pluralisme. Ilmu & Kebijakan Lingkungan, 155, 103729.
  4. Wolosin, Michael. 2022. Menelusuri Dikotomi yang Salah Antara Legalitas dan Nol Deforestasi. Washington DC: Forest Trends. https://www.forest-trends.org/publications/navigating-legality-and-zero- deforestasi, 24; Whyte, K., 2016. Pengalaman masyarakat adat, keadilan lingkungan dan kolonialisme pemukim (SSRN Scholarly Paper ID 2770058). Soc. Sci. Res. Netw. https://doi.org/10.2139/ssrn.2770058.
  5. Komisi Eropa, “Eropa siap untuk memimpin”, Pidato oleh Presiden von der Leyen di KTT One Planet, tersedia di: https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/EL/speech_21_61
  6. Organisasi Perdagangan Dunia, “Surat Bersama: Proposal Uni Eropa untuk Peraturan tentang Produk Bebas Deforestasi – Pengajuan oleh Indonesia dan Brasil”, 29 November 2022, tersedia di: bit.ly/45Q9MKZ; Surat Bersama untuk Uni Eropa, September 2023, tersedia di: https://www.atibt.org/files/upload/news/RDUE/Trading_partners_joint_letter_on_EUDR_7_September_2023.pdf
  7. Schilling-Vacaflor, A. dan Lenschow, A., 2023. Memperkuat akuntabilitas perusahaan asing melalui uji tuntas wajib di Uni Eropa? Tren baru dan tantangan yang masih ada. Regulation & Governance, 17(3), pp.677-693.
  8. Peluso, N. L., & Lund, C. (2011). Batas-batas baru penguasaan lahan: Pendahuluan. Journal of peasant studies, 38(4), 667-681; Maluf, R. S., Burlandy, L., Cintrão, R. P., Jomalinis, E., Santarelli, M., & Tribaldos, T. (2022). Rantai nilai global, pangan, dan transisi yang adil: pendekatan multi-skala untuk rantai nilai kedelai Brasil. Jurnal Studi Petani, 19.
  9. Lenzen, M., Moran, D., Kanemoto, K., Foran, B., Lobefaro, L., & Geschke, A. (2012). Perdagangan internasional mendorong ancaman keanekaragaman hayati di negara berkembang. Nature, 486(7401), 109-112.

Catatan Akhir

  1. Perlu dicatat bahwa studi keadilan lingkungan sering kali merupakan dan tetap menjadi upaya Barat, bahkan ketika studi tersebut berfokus pada ketidakadilan yang terjadi dalam konteks Global South (lihat Álvarez, L., & Coolsaet, B. (2020). Dekolonisasi studi keadilan lingkungan: perspektif Amerika Latin. Kapitalisme alam sosialisme, 31(2), 50-69). Oleh karena itu, kami bermaksud untuk mengubah analisis kami melalui lensa studi keadilan lingkungan yang kritis (Holifield, R., Porter, M., & Walker, G. (2009). Ruang-ruang keadilan lingkungan: Kerangka kerja untuk keterlibatan kritis. Antipode, 41(4), 591-612; Pellow, D. N. (2018). Tahanan politik dan keadilan lingkungan. Kapitalisme Alam Sosialisme, 29(4), 1-20; Sikor, T., & Newell, P. (2014). Mengglobalkan keadilan lingkungan?. Geoforum, 54, 151-157). ↩︎
  2. Malin, S. A., Ryder, S., & Lyra, M. G. (2019). Keadilan lingkungan dan ekstraksi sumber daya alam: persimpangan kekuasaan, kesetaraan, dan akses. Sosiologi Lingkungan, 5(2), 111. ↩︎
  3. Adrian Martin, M. Teresa Armijos, Brendan Coolsaet, Neil Dawson, Gareth A. S. Edwards, Roger Few, Nicole Gross-Camp, Iokiñe Rodriguez, Heike Schroeder, Mark G. L. Tebboth & Carole S. White (2020) Keadilan Lingkungan dan Transformasi Menuju Keberlanjutan, Lingkungan: Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan untuk Pembangunan Berkelanjutan, 62:6, 23; Maluf, Renato S., Luciene Burlandy, Rosângela P. Cintrão, Emilia Jomalinis, Mariana Santarelli, dan Theresa Tribaldos. “Rantai nilai global, pangan, dan transisi yang adil: pendekatan multi-skala terhadap rantai nilai kedelai Brasil.” Jurnal Studi Petani (2022): 19. ↩︎
  4. Komisi Eropa. (2021). “Penilaian Dampak – Meminimalkan Risiko Deforestasi dan Degradasi Hutan Terkait dengan Produk yang Ditempatkan di Pasar Uni Eropa”. Dokumen Kerja Staf Komisi. SWD(2021) 326. Bagian 1⁄2. ↩︎
  5. McKeon, N. (2017). Apakah Kesetaraan dan Keberlanjutan Merupakan Hasil yang Mungkin Dicapai Ketika Rubah dan Ayam Berbagi Kandang yang Sama? Mengkritisi Konsep Tata Kelola Ketahanan Pangan Multipihak. Globalizations, 14(3), 379-398; Bastos Lima, M. G., & Persson, U. M. (2020). Tata kelola bentang alam yang berpusat pada komoditas sebagai pedang bermata dua: kasus kedelai dan Kelompok Kerja Cerrado di Brasil. Frontiers in Forests and Global Change, 3, 27; Hansen, C. P., Rutt, R., & Acheampong, E. (2018). ‘Eksperimental’ atau bisnis seperti biasa? Menerapkan perjanjian kemitraan sukarela Penegakan Hukum, Tata Kelola, dan Perdagangan Kehutanan Uni Eropa (FLEGT) di Ghana. Kebijakan dan Ekonomi Kehutanan, 96, 75-82. ↩︎
  6. Boillat, Sébastien, Adrian Martin, Timothy Adams, Desiree Daniel, Jorge Llopis, Elena Zepharovich, Christoph Oberlack dkk. “Mengapa penelitian telecoupling perlu mempertimbangkan keadilan lingkungan.” Jurnal ilmu tata guna lahan 15, no. 1 (2020): 5. ↩︎
Share the Post: