Pendekatan Keadilan Lingkungan Terhadap Regulasi Produk Bebas Deforestasi (EUDR) Uni Eropa

1. Pendahuluan

Setiap tahun, Uni Eropa mengimpor komoditas pertanian senilai miliaran Euro dari berbagai negara di seluruh dunia, khususnya di negara-negara Selatan, dan menggunakan sebagian besar komoditas tersebut untuk menjadi pengekspor komoditas pangan terbesar di dunia. Karenanya, pertumbuhan ekonomi Uni Eropa sangat bergantung pada proses ekstraksi di belahan dunia lain yang terintegrasi dalam rantai nilai pasok, seperti yang diakui oleh peraturan baru Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi 2023/1115 (EUDR). Di sisi lain, dampak sosio-ekologis yang berasal dari produksi dan distribusi komoditas pertanian global terkonsentrasi di wilayah tempat sumber daya alam diekstraksi. Hal ini membawa implikasi ekologi, ekonomi, dan sosial—di luar persoalan industri dan pertanian—yang harus disoroti.

Gambar 1: Dataran Tinggi Santareno, Daerah Aliran Sungai Tapajós, Pará-Brasil.  Foto oleh Tomaso Ferrando

Distribusi manfaat dan konsekuensi yang timpang dari rantai nilai pasok merupakan kunci dari penjabaran EUDR: gagasan di balik peraturan baru ini adalah untuk mengatasi pelepasan gas rumah kaca, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman sosio-biologis yang terkait dengan konsumsi Uni Eropa. Pada gilirannya, Uni Eropa dan negara-negara anggota diidentifikasi sebagai pemain kunci dalam peningkatan kinerja sosio-lingkungan dari tujuh komoditas pertanian melalui standar yang lebih tinggi, transparansi, dan keterlacakan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa, meskipun ketentuan persyaratan lingkungan dan sosial secara sepihak untuk perdagangan dapat mengurangi jejak yang terkait dengan konsumsi Uni Eropa, hal itu tidak secara otomatis sama dengan upaya untuk menciptakan keadilan lingkungan. Hal ini bahkan dapat menciptakan ‘kenyamanan sosial-lingkungan’ palsu di antara para pembuat kebijakan, konsumen, dan perusahaan Uni Eropa, sembari mereproduksi bentuk-bentuk ‘pengorbanan sosial-lingkungan’ dan memperkuat ketimpangan global.

Dalam kontribusi ini, kami memahami keadilan lingkungan sebagai lensa untuk membahas distribusi sosial dan ekologis dari biaya dan manfaat yang terkait dengan tindakan lingkungan, dan untuk memahami partisipasi masyarakat yang terkena dampak dan pengakuan atas visi dan aspirasi alternatif mereka. (1) Blog ini secara khusus berupaya memberikan gambaran umum tentang berbagai dimensi keadilan lingkungan yang berasal dari kerangka kerja intelektual, adopsi, dan implementasi EUDR. Tiga dimensi keadilan lingkungan yang diperhitungkan untuk mengembangkan analisis adalah: (i) distribusi beban dan manfaat sosial-lingkungan yang adil; (ii) keadilan prosedural melalui otonomi proses pengambilan keputusan; dan (iii) pengakuan terhadap keragaman peserta dan pengalaman yang tercermin dalam rantai nilai pasok. Dengan demikian, melalui kutipan dari David Harvey,  kami menggarisbawahi perlunya untuk “menghadapi proses-proses dasar (struktur kekuasaan, hubungan sosial, konfigurasi kelembagaan, wacana, dan sistem kepercayaan yang terkait) yang menghasilkan ketidakadilan lingkungan dan sosial,”.

2. Perhatian terhadap distribusi beban dan manfaat lingkungan

Untuk memahami EUDR dari perspektif keadilan lingkungan, kita perlu memulai dengan melihat distribusi manfaat, peluang, dan risiko yang melekat pada peraturan tersebut. Secara khusus, distribusi kerugian lingkungan yang tidak merata di seluruh wilayah dan kelompok sosial adalah salah satu elemen penentu ketidakadilan lingkungan. Pada tulisan ini, keadilan distributif—yang berasal dari konteks masyarakat kulit hitam dan kulit coklat di Amerika Serikat pada akhir tahun 1970-an—dipahami sebagai “distribusi barang dan jasa di antara masyarakat” (2), di mana dampak lingkungan sangat terkait dengan pengalaman hidup dan sejarah mereka. Tidak seperti situasi di mana kerugian dialami oleh pihak-pihak yang berada di dekat sumbernya, pendekatan keadilan lingkungan terhadap rantai nilai pasok memungkinkan kita untuk menghubungkan aliran komoditas—termasuk emisi dan deforestasi yang melekat pada komoditas yang diperdagangkan—dengan manfaat dan beban di sepanjang rantai nilai ini.

Dalam hal ini, Eropa secara historis telah dan tetap bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan global dan konsumsi sumber daya yang sangat tinggi secara tidak proporsional. Hal ini telah terjadi sejak era kolonial, namun biaya lingkungan dan sosial yang merugikan dari industrialisasi dan konsumsi Eropa masih terus ditransfer ke, dan ditanggung oleh, daerah, negara, dan wilayah tempat ekstraksi dan distribusi berlangsung. Secara khusus, sejak berdirinya perkebunan gula di Amerika, pengembangan atau penguatan rantai nilai global di bidang pertanian untuk konsumsi Eropa memiliki implikasi distributif yang signifikan di wilayah produksi. Lebih dari itu, Jason W. Moore mengingatkan kita bahwa rantai nilai global berkontribusi dalam pembentukan wilayah, ekologi, dan kehidupan di negara-negara Selatan dengan memaksakan pola produksi dan konsumsi yang berangkat dari ekologi dan dinamika yang ada. Dalam konteks ini, jika kita menganggap bahwa rantai nilai global yang terikat dengan Uni Eropa telah berkontribusi pada distribusi beban dan manfaat lingkungan yang tidak merata di seluruh dunia, kita harus mempertanyakan apakah EUDR dibentuk berdasarkan informasi ini dan implikasinya. Namun, analisis kami terhadap teori perubahan dan prosedur EUDR menemukan bahwa Uni Eropa gagal untuk beralih dari pertukaran sosial-ekologis yang tidak setara—yang menjadi inti dari pola konsumsi mereka—dan lebih abai lagi untuk mempertimbangkan dan memperbaiki pembangunan yang tidak merata secara historis. Poin-poin berikut menguraikan pernyataan ini.

  • Pertama, keadilan distributif menjadi permasalahan ketika dikaitkan dengan pengenalan tolok ukur temporal (yaitu 31 Desember 2021) dalam peraturan tersebut. Pendekatan ini secara tidak sengaja menguntungkan negara-negara yang telah memperluas produksi pertanian mereka dengan mengkonversi vegetasi alami, dan yang secara efektif memberi penghargaan kepada mereka yang memiliki sejarah berpartisipasi dalam deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini menciptakan kesenjangan di mana negara-negara yang secara signifikan berkontribusi terhadap deforestasi mendapatkan keuntungan dan peluang lebih besar untuk melakukan perdagangan dengan Uni Eropa. Selain itu, EUDR tidak membuat perbedaan antara negara dan kapasitasnya yang berbeda. Namun, rantai nilai global tidak dapat diseragamkan dan intervensi rantai nilai tersebut tidak dapat diasumsikan memiliki efek yang sama di seluruh wilayah dan kelompok masyarakat: setiap wilayah memiliki sejarah deforestasi yang berbeda, untuk komoditas yang berbeda, dan pada waktu yang berbeda. Dengan cara yang sama, ketidakadilan terjadi secara berbeda di seluruh wilayah, bersama dengan perlawanan dan reaksi dari masyarakat. (3)
  • Kedua, dari perspektif wilayah produksi, EUDR didasarkan pada[1]  bertahannya neo-ekstraktivisme dan eksploitasi sumber daya alam dengan cara yang paling sesuai dengan pola konsumsi dan kebutuhan Uni Eropa. Lonjakan permintaan pangan global telah dan masih menguntungkan perusahaan pengolahan, importir, dan pemerintah yang terlibat dalam perdagangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan konsentrasi dan kekuasaan perusahaan dalam sistem pangan global. Konsentrasi pasar dan lahan ini memiliki dampak finansial, tetapi tidak hanya itu: sistem pangan yang terkonsentrasi sering dikaitkan dengan praktik monokultur dan integrasi wilayah ke dalam rantai pasok global, sehingga berperan menghidupi masyarakat yang lokasinya jauh dari wilayah produksi dan bukan penduduk lokal. Bentuk-bentuk produksi dan sirkulasi komoditas pangan dengan demikian berdampak pada praktik-praktik sosial-ekonomi masyarakat adat, masyarakat lokal, petani skala kecil, nelayan dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang memiliki hubungan ekologis tertentu dengan wilayah ekstraksi. Namun, alih-alih memikirkan kembali pola produksi dan distribusi yang ada, EUDR secara eksklusif berupaya untuk meningkatkan implikasi lingkungan dan sosialnya, dan membuat alokasi nilai, tenaga kerja, dan input global (air, tanah, nutrisi, dll.) seolah-olah tidak diperhatikan. Meskipun perubahan dalam pola produksi membuat konsumen dan industri Uni Eropa terhindar dari penggunaan produk yang terkait dengan deforestasi setelah tanggal 31 Desember 2020, hal ini tidak boleh mengesampingkan implikasi distributif dari normalisasi rantai pasok global.
  • Terakhir, dari sisi konsumen, muncul kritik bahwa EUDR dapat berdampak negatif pada harga akhir yang dibayarkan oleh konsumen Eropa. Uni Eropa memang belum sepenuhnya menginternalisasi biaya untuk beradaptasi dengan EUDR, terutama karena terbatasnya cakupan program dan kemitraan di masa depan di bawah peraturan tersebut. Meskipun konsumen Uni Eropa berharap agar biaya investasi ditanggung oleh sektor swasta, sangat mungkin bagi mereka untuk menemukan komoditas dengan harga yang lebih mahal. Skenario ini memiliki implikasi distributif yang signifikan di Eropa karena beban harga pangan yang lebih tinggi dapat secara tidak proporsional mempengaruhi populasi yang paling rentan secara ekonomi. Akibatnya, kebijakan ini dapat memperburuk ketimpangan yang sudah ada dengan membuat makanan yang berkualitas menjadi kurang dapat diakses oleh mereka yang berpenghasilan lebih rendah dan, dari cara EUDR disusun, mereka yang berpenghasilan rendah tidak akan menerima bantuan keuangan apapun untuk mempertahankan atau meningkatkan pola konsumsi dan akses pangan mereka.

3. Keadilan prosedural dalam proses pengambilan keputusan EUDR

Dalam kontribusi sebelumnya pada seri blog ini, kami telah membahas EUDR sebagai keputusan sepihak (Uni Eropa) dengan dampak lintas batas dan multi-skala. Namun, apakah ‘niat baik’ Uni Eropa (dengan mempertimbangkan semua permasalahan yang telah dibahas sebelumnya) dapat menjadi pembenaran terhadap tindakan sepihak ini? Dan apa implikasi dari karakter sepihak tersebut terhadap konsepsi dan praktik implementasi EUDR?

Secara khusus, EUDR mengikuti prosedur yang biasa digunakan dalam proses legislasi Uni Eropa: keterlibatan pemangku kepentingan – termasuk konsultasi publik terbuka dan diskusi dengan pemangku kepentingan yang ditargetkan, serta konsultasi berupa wawancara dan diskusi kelompok fokus – dilakukan pada periode sebelum peraturan tersebut diadopsi. Hal ini bertujuan untuk “mengidentifikasi semua pemangku kepentingan terkait dan memberikan mereka kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan konsultasi untuk mengumpulkan pendapat mereka mengenai tindakan tambahan yang harus diadopsi oleh Uni Eropa.” (4) Terlepas dari tujuan tersebut, dan karena EUDR merupakan peraturan yang memiliki potensi implikasi global yang tidak merata, keterlibatan pemangku kepentingan dan proses konsultasi telah menciptakan berbagai ketidakadilan prosedural. Keadilan prosedural ini secara khusus berfokus pada proses pengambilan keputusan dan pentingnya pengakuan terhadap kelompok-kelompok yang dikecualikan atau terpinggirkan.

  • Pertama, penilaian dampak oleh Komisi Eropa mengakui bahwa peraturan tersebut akan memiliki implikasi di luar Uni Eropa dan bahwa “segmen masyarakat yang paling miskin dan paling terpinggirkan, seperti petani kecil, masyarakat adat dan masyarakat lokal, akan terkena dampak dari deforestasi dan degradasi hutan secara tidak proporsional”. Prinsip-prinsip keadilan partisipatif mensyaratkan bahwa keputusan yang mempengaruhi dan membentuk suatu wilayah tidak boleh dibuat tanpa keterlibatan aktif dan pemahaman masyarakat yang terkena dampak. Namun, analisis kami terhadap kegiatan pelibatan pemangku kepentingan menunjukkan adanya kesenjangan dalam penanganan berbagai realitas dan suara yang terdampak oleh deforestasi. Sebagai contoh, dari sudut pandang partisipatif dan legitimasi, konsultasi publik terbuka yang dianggap sebagai petisi ‘terbesar’ warga negara untuk undang-undang Uni Eropa yang baru masih diperdebatkan. Hal ini disebabkan oleh format kuesioner (kuesioner yang telah diisi sebelumnya dan didistribusikan oleh LSM-LSM yang berbasis di Uni Eropa) dan isinya (yaitu partisipasi dalam konsultasi dengan ruang lingkup yang telah ditentukan). Karenanya, konsultasi tersebut mendorong pemahaman terkait ‘masalah deforestasi’ dengan satu cara tertentu tanpa menyisakan ruang untuk interpretasi lain, seperti yang disoroti dalam artikel blog awal kami tentang EUDR.  Selain itu, meskipun masyarakat sipil dan masyarakat adat terus menerus menolak perjanjian perdagangan bebas (FTA) seperti Perjanjian Uni Eropa-Mercosur, adopsi EUDR pada akhirnya mendorong model produksi yang berorientasi ekspor, bahkan lebih bersifat industrial, dengan mengorbankan moda produksi lainnya.
  • Kedua, interaksi dan diskusi dengan perwakilan negara mitra dan asosiasi sektor swasta telah dikutip oleh para pelaku Uni Eropa yang diwawancarai sebagai bukti partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Namun, pemerintah belum tentu menjadi pihak yang dapat mencerminkan perspektif semua kelompok sosial, termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal di wilayah tersebut. Demikian pula, upaya Uni Eropa menciptakan perdagangan ‘berkelanjutan’ dan rantai pasok yang ‘bebas deforestasi’ tidak boleh berfokus hanya pada produsen komoditas global, namun juga harus terbuka bagi para pelaku yang belum terlibat dalam rantai pasok global namun terkena dampaknya atau mungkin akan dilibatkan/dikecualikan di masa depan. Hal ini pada akhirnya tidak terjadi, karena para pemain ekonomi yang cenderung kuat dan perwakilan mereka telah membangun kedekatan dengan aktor-aktor Uni Eropa yang terlibat dalam proses legislatif. Sebagai contoh, laporan sinopsis kegiatan konsultasi pemangku kepentingan yang dilakukan sebagai latar belakang EUDR menggarisbawahi bahwa sebagian besar konsultasi pemangku kepentingan melibatkan “masyarakat sipil dan LSM, Institusi Eropa, organisasi internasional, negara ketiga, otoritas yang berwenang di negara anggota, industri, dan peneliti”. Namun, setelah ditelaah dengan lebih teliti, konsultasi yang ditargetkan—termasuk wawancara dan pertemuan pemangku kepentingan—sebagian besar dilakukan dengan pelaku sektor swasta dan otoritas yang berkompeten di negara anggota Uni Eropa (lihat Gambar 1 dan 2). Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang inklusivitas proses penyusunan EUDR dan mendorong pertanyaan tentang sejauh mana aspirasi yang lain diberikan ruang dan representasi yang memadai. Selain itu, peran platform multi-pihak dalam memprioritaskan kepentingan aktor sektoral dan birokrasi yang sering kali mengecualikan kelompok-kelompok rentan telah dijelaskan dengan baik melalui berbagai penelitian yang ada. (5) Penggunaan mekanisme ini sebagai proses partisipatif menimbulkan masalah prosedural dan keadilan yang signifikan.
Gambar 2: Peserta berdasarkan jenis pemangku kepentingan untuk kegiatan konsultasi (tanpa OPC). Sumber: Komisi Eropa (Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup), Laporan Sinopsis. “Tugas 3 – Penilaian dampak pada langkah-langkah sisi permintaan untuk mengatasi deforestasi”. September 2021, available at: https://circabc.europa.eu/ui/group/34861680-e799-4d7c-bbad-da83c45da458/library/4209b24c-d6eb-45fe-b958-7dd4bec328b3/details?download=true
Gambar 3: Kelompok peserta berdasarkan jenis pemangku kepentingan untuk wawancara yang ditargetkan. Sumber: Komisi Eropa (Direktorat Jenderal Lingkungan Hidup), Laporan Sinopsis. “Tugas 3 – Penilaian dampak pada langkah-langkah sisi permintaan untuk mengatasi deforestasi”. September 2021, available at: https://circabc.europa.eu/ui/group/34861680-e799-4d7c-bbad-da83c45da458/library/4209b24c-d6eb-45fe-b958-7dd4bec328b3/details?download=true

Oleh karena itu, EUDR gagal menunjukkan bagaimana partisipasi bisa difasilitasi dan tidak berhasil mengatasi permasalahan ketimpangan kekuatan antara kelompok dan perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya di satu sisi, dan penduduk lokal di sisi lain. Keterlibatan dengan berbagai pemangku kepentingan di masa depan telah dijanjikan oleh Uni Eropa, termasuk pembentukan dua kelompok kerja (‘kelompok penelusuran’ dan ‘kelompok inklusi petani kecil’) yang akan membantu platform multi-pihak dalam mengumpulkan informasi untuk menafsirkan dan memfasilitasi implementasi EUDR. Upaya ini menghadapi tantangan seperti halnya yang dialami pada tahap-tahap sebelumnya, namun juga secara umum ditemukan dalam proses tata kelola lingkungan dan lahan yang lebih luas.

4. Pengakuan atas hak, kekuasaan, dan perbedaan budaya di seluruh wilayah

Gerakan keadilan lingkungan telah lama hadir dalam menginisiasi perdebatan tentang perubahan sistemik dari model produksi yang dominan, mengakui aspirasi-aspirasi yang berbeda, cara hidup yang beragam, dan produksi yang secara kompleks terkait dengan wilayah dan sumber daya alam. Ketidakadilan lingkungan yang diakui secara khusus muncul ketika “ruang tata kelola dibentuk oleh pengetahuan dan nilai yang dominan, yang pada akhirnya mendorong cara pandang dan solusi yang mereproduksi asimetri kekuasaan kolonial dan memperkuat jarak sosial”. (6) Faktanya, pengakuan terhadap berbagai kelompok, sistem nilai, sejarah, dan hak-hak mereka yang berbeda sangat penting dalam memahami akar permasalahan deforestasi dan degradasi hutan di wilayah ekstraksi dan produksi. Sangat penting untuk mengakui keragaman tempat, sejarah dan karakteristik budaya, kerangka hukum, kondisi ekonomi, jenis produsen, dan konstelasi aktor yang relevan untuk memahami bagaimana rantai pasok global dan ekspansi sistem pangan global telah berinteraksi dengan daerah setempat dan telah mengorbankan kehidupan serta dinamika ekologi di wilayah tersebut.

Kami menganggap bahwa EUDR gagal untuk membuka dialog legislatif (dan kemungkinan dialog di masa depan dalam implementasinya) dengan berbagai cara pandang dan pemahaman tentang wilayah produksi dan sistem pangan mereka, yang pada akhirnya hanya mendukung model agri-industri, memperkuat asimetri kekuasaan dan melemahkan klaim masyarakat adat, masyarakat setempat dan kelompok-kelompok sosial lainnya. Hal-hal di atas dapat diilustrasikan oleh elemen-elemen berikut:

  • EUDR mendorong suatu konsepsi dominan tentang alam (dan keberlanjutan), serta menawarkan analisis masalah dan solusi yang pada dasarnya mereproduksi pengetahuan asimetris dan pemahaman dualisme masyarakat/manusia yang menjadi arus utama pada masa modernisme dan kolonisasi Barat. Sebagai contoh, pilihan definisi deforestasi yang bersifat internasional dan umum sebagian besar mengabaikan kompleksitas hubungan sosial-ekologis di sekitar ekosistem wilayah yang berbeda. Hal ini kemungkinan mengeksklusi sistem ekologis yang ingin dipertahankan oleh masyarakat atau memberikan sanksi terhadap praktik-praktik pertanian leluhur yang didasarkan pada rotasi, penebangan, serta pembakaran hutan secara berkala. Keberlanjutan, dari sudut pandang ekologi politik, bukan hanya sekedar berorientasi pada tujuan lingkungan, tetapi juga merupakan konsep yang sangat politis dan melibatkan pertanyaan-pertanyaan tentang kekuasaan, keadilan, dan kesetaraan.
  • Peraturan tersebut mengakui bahwa sertifikasi atau skema yang terverifikasi oleh pihak ketiga lainnya dapat digunakan dalam prosedur penilaian risiko oleh pedagang dan operator (Pasal 10). Namun, sertifikasi yang dihasilkan oleh para pelaku dari dalam rantai pasok global memperkuat ketimpangan yang dibuktikan dengan upaya melegitimasi produksi pertanian industri skala besar dan melemahkan aksi politik dan gerakan sosial masyarakat sipil. Selain itu, sertifikasi mengisolasi petani kecil dari pasar global karena skema tersebut mengharuskan adanya kepatuhan terhadap ‘aspek keberlanjutan’ tertentu yang memperkuat asimetri kekuasaan yang ada. Sebaliknya, masyarakat sipil di seluruh dunia telah mengembangkan protokol berbasis komunitas yang menjabarkan kegiatan yang seharusnya atau tidak seharusnya terjadi di wilayah mereka, dan mengklaim hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan memutuskan masa depan wilayah mereka. Normalisasi rantai pasok global, meskipun ‘lebih ramah lingkungan’, jelas tidak mengarah ke sana.
  • Cara hidup dan sistem pangan di berbagai wilayah sangat terpengaruh oleh perluasan produksi komoditas. Hal ini seringkali berkaitan dengan konflik lahan, pengusiran masyarakat dari wilayah leluhur, meningkatnya ketergantungan pada pasar global, dan berkurangnya akses terhadap sumber daya alam. Meskipun menyebutkan legalitas produksi dan hak-hak masyarakat adat dan lokal, EUDR mengabaikan proses di mana legalitas dibentuk dan dipermasalahkan di lapangan, termasuk oleh kelompok-kelompok sosial dan gerakan yang memobilisasi keadilan sosial-lingkungan di luar gagasan legalitas milik otoritas publik dan negara. Dengan berpegang pada gagasan deforestasi dari Barat dan dengan mengandalkan para pedagang dan operator untuk melakukan analisis legalitas produksi, EUDR berisiko memproduksi definisi yang eksklusif tentang legalitas dan berangkat dari gesekan masyarakat di wilayah tersebut. EUDR juga berisiko memperkuat dan mereproduksi realitas hukum yang berbeda dengan apa yang diklaim oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah indikasi Kadaster Pedesaan Brasil sebagai kerangka acuan untuk kepemilikan legal di Brasil—kadaster tersebut menjadi objek perjuangan historis antara masyarakat adat yang dirampas dan perusahaan skala besar yang mengklaim hak milik serta menduduki tanah leluhur mereka yang tidak diformalisasi.

5. Kesimpulan

Intervensi struktural yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati dalam sistem pangan yang dominan dapat merefleksikan ketidakadilan sosial dan lingkungan. Ketidakadilan lingkungan, khususnya, menonjol dalam rantai pasok global kontemporer yang menghubungkan wilayah ekstraksi dengan wilayah konsumsi. Hal ini terutama terjadi ketika kita berpikir tentang distribusi spasial atas eksternalitas dan nilai di seluruh rantai nilai komoditas yang tercakup dalam EUDR.  Karenanya, rantai pasok global sebagai ruang ekonomi dan legislatif yang dibentuk oleh kombinasi berbagai kebijakan dapat menjadi titik tolak yang signifikan untuk membahas persoalan representasi yang timpang dan pembungkaman terhadap visi tertentu dari beberapa pihak.

Berdasarkan pembacaan kami terhadap teks dan keterlibatan kami dengan para pelaku di Uni Eropa dan di tiga wilayah produksi, kami menyimpulkan bahwa EUDR tidak mempertimbangkan dan mengakui perbedaan hak, kekuasaan, dan perbedaan budaya di wilayah-wilayah di sepanjang rantai nilai secara memadai. Peraturan tersebut cenderung meningkatkan ketidakadilan lingkungan di seluruh rantai pasok global dan di dalam wilayah ekstraksi, baik dalam aspek pengakuan, partisipasi, maupun distribusi. Hal ini terjadi karena:

  1. EUDR mengabaikan ketimpangan distributif yang melekat pada produksi komoditas dan distribusinya di sepanjang rantai pasok global, serta mengabaikan tanggung jawab Uni Eropa atas deforestasi dan degradasi hutan di masa lalu. Dalam hal ini, EUDR melanggengkan ketidakadilan pangan dan lingkungan yang terjadi dalam jejaring kompleks di dalam rantai pasok global dan berakar secara historis, sementara tidak memikul tanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi sebelum 31 Desember 2021 atau biaya transformasi ekonomi dan sosial di wilayah produksi yang diperlukan setelah peraturan tersebut diberlakukan.
  2. Kegagalan sistemik dalam pengakuan terhadap kelompok-kelompok masyarakat di wilayah produksi dan ekstraksi merupakan inti dari regulasi Uni Eropa, di mana beberapa kelompok masyarakat akan dieksklusi dari peluang berpartisipasi, kecuali jika mereka mengadopsi cara pandang dominan mengenai model produksi dan konsepsi alam.
  3. Agenda Uni Eropa terkait deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati gagal untuk menyelaraskan diri dengan agenda historis serta pemahaman dan aspirasi gerakan sosial, terutama dalam menanggapi ketidakadilan terkait dengan model neo-ekstraktif. EUDR didorong oleh ambisi Uni Eropa untuk tetap berada di pusat rantai nilai pertanian global tanpa memperhatikan keinginan dan aspirasi wilayah, termasuk alternatif yang telah dipraktikkan di seluruh dunia (misalnya protokol berbasis masyarakat).

Dengan menerapkan kerangka ‘keadilan lingkungan’, EUDR memiliki potensi untuk memperparah ketimpangan dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap ketimpangan tersebut sejak rantai pasok pertanian global dimulai. Komitmen Uni Eropa untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan global patut diapresiasi, namun pembacaan dan pemahaman yang lebih menyeluruh terkait ketidakadilan lingkungan yang melekat pada bentuk tata kelola lingkungan ini tetap harus dilakukan.


Share the Post: