Komoditas Global
Timah
Timah di Indonesia
Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan terhadap distribusi timah global. Indonesia merupakan pengekspor timah terbesar di dunia, produsen terbesar kedua setelah Cina yang menyumbang hampir 30% dari timah olahan dunia, dan juga merupakan rumah bagi cadangan timah yang cukup besar. Timah Indonesia pertama kali diekstraksi dan diproduksi secara komersial oleh VOC pada abad ke-18. Tata kelola pertambangan timah di Bangka Belitung ditandai dengan monopoli dan sentralisasi manajemen. Keuntungan dari penambangan secara teratur diarahkan ke pusat dengan mengorbankan masyarakat lokal dan elite pemerintah. Perusahaan menandatangani kontrak dengan Sultan Palembang untuk memonopoli sumber daya timah. Perjanjian ini menyatakan bahwa semua produk timah dari Bangka harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditentukan. Hal ini menandai masuknya timah Bangka ke dalam perekonomian global.
Masyarakat lokal tidak memiliki hak untuk menjual timah mereka di pasar bebas. Sebagai implikasinya, jumlah bisnis penyelundupan semakin meningkat sebagai perlawanan terhadap kerugian finansial yang dialami para penambang timah akibat monopoli tersebut. Perbedaan harga antara VOC dan pasar bebas yang cukup tinggi juga memberikan insentif yang lebih besar bagi masyarakat yang marah untuk menyelundupkan dan menjual produk timah mereka ke pembeli lain.
Monopoli ini berlanjut selama masa penjajahan Belanda dan menjadikan timah sebagai komoditas strategis yang dikendalikan oleh negara. Setelah beberapa kali pemberontakan, para elite tradisional yang posisi politik dan ekonominya terpinggirkan oleh pemerintah Belanda, akhirnya menyerahkan pengelolaan pertambangan timah kepada Banka Tin Winning (BTW) yang berada di bawah pemerintahan Belanda. Dengan berkuasanya BTW, pengelolaan eksploitasi timah dan keuntungan yang sangat besar menjadi agenda yang lebih diprioritaskan daripada mengembangkan ekonomi lokal.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, BTW sebagai perusahaan milik Belanda dinasionalisasi menjadi PN Timah, kemudian menjadi PT Timah, dengan model monopoli yang sama. Timah terus dianggap sebagai komoditas strategis nasional yang eksploitasi dan perdagangannya harus dikontrol oleh negara. Keuntungan dari penambangan terus mengalir ke pusat, sehingga masyarakat setempat tidak mendapatkan keuntungan ekonomi. Siapapun yang menambang timah tanpa izin atau menyimpan dan menyelundupkan timah ke luar Bangka tanpa izin, akan dihukum. Pemerintah bahkan mengerahkan kekuatan militer untuk melindungi lokasi pertambangan dan aktivitasnya.
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis keuangan yang diikuti oleh reformasi politik. Gejolak politik ini secara signifikan mengubah tata kelola timah di Bangka Belitung. Melalui Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian No. 146/1999, timah tidak lagi dikategorikan sebagai komoditas strategis negara yang penambangan dan perdagangannya harus diawasi oleh pemerintah pusat. Otonomi pemerintah daerah melahirkan pertambangan rakyat dalam jumlah yang signifikan. Dalam banyak kasus, masyarakat tidak memiliki izin dan melakukan penambangan di hampir seluruh wilayah Bangka Belitung. Para pedagang juga bebas menjual bijih timah ke luar negeri tanpa adanya peraturan yang mengaturnya. Pada tahun 2013, terdapat 80 kapal keruk dan 3.600 penambang timah terapung di lepas pantai Bangka. Hingga tahun 2015, terdapat 1.351 area pertambangan inkonvensional di dalam wilayah PT Timah, belum termasuk yang berada di luar. Pada saat yang sama, terdapat sekitar 15.000 hingga 50.000 penambang timah inkonvensional lokal dan sekitar 30 smelter independen di Bangka Belitung. Tren ini meningkat karena tingginya harga komoditas dan meningkatnya permintaan untuk transisi digital dan energi.
Sebagai tanggapan atas penambangan yang tidak terkendali dan masalah-masalah yang mengikutinya, pemerintah memutuskan untuk mengambil kembali kewenangan penerbitan izin penambangan ke pusat. Pada tahun 2009, pemerintah pusat mengesahkan Undang-Undang Industri Mineral dan Batubara No. 4, yang bertujuan untuk memusatkan kembali kendali atas rantai pasokan timah. Salah satu implikasi yang paling signifikan adalah pelarangan ekspor bijih timah mentah dan setengah jadi dari Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendorong pengembangan kapasitas peleburan di Indonesia, sehingga para pemain lokal sebagai pengekspor bahan baku dapat meningkatkan posisi mereka dalam rantai nilai timah. Mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap ekspor bahan mentah juga merupakan salah satu tujuannya. Pemerintah pusat, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perdagangan, memainkan peran penting dalam mengeluarkan lisensi dan izin ekspor yang mengadopsi sumber timah yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan untuk mengontrol kualitas dan sumber timah yang diekspor oleh perusahaan.