Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa: Tinjauan Kritis

1. Pendahuluan

Pada bulan November 2021, Komisi Eropa mengusulkan peraturan baru untuk menahan laju deforestasi dan degradasi hutan yang didorong oleh Uni Eropa (UE). Setelah melakukan negosiasi selama lebih dari satu tahun, pada bulan Desember 2022, Parlemen dan Dewan Eropa mencapai kesepakatan politik awal tentang naskah yang, dengan beberapa perubahan, kemudian menjadi Peraturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EU Deforestation-Free Products Regulation 2023/1115) yang diadopsi pada bulan Mei 2023. 

EUDR mulai berlaku pada tanggal 29 Juni 2023 dengan periode implementasi selama 18 bulan untuk sebagian besar pemangku kepentingan. Dari perspektif rantai nilai global (global value chain/GVC), EUDR dapat dipahami sebagai intervensi peraturan sepihak untuk mengarusutamakan dan meningkatkan standar perdagangan Uni Eropa dan global dengan memperkenalkan kriteria minimum untuk mengakses pasar Uni Eropa. Namun, implikasinya lebih dari itu: EUDR mendorong intervensi pada rantai nilai global secara kontekstual dan multi-teritorial, serta memperlihatkan bagaimana teritori dipengaruhi oleh praktik, tindakan, dan disposisi di berbagai tahap produksi global.

Seluruh pihak yang terlibat bersepakat bahwa periode implementasi awal mengharuskan adanya tindakan signifikan yang diambil. Uni Eropa akan melakukan penilaian risiko, menentukan konten, dan mengembangkan pedoman potensial untuk implementasi EUDR. Para produsen dan operator harus memenuhi kewajiban mereka dan menyesuaikan prosedur yang telah ditentukan, sementara pemerintah nasional bertanggung jawab untuk mengimplementasikan peraturan tersebut. Akademisi dan organisasi masyarakat sipil akan menganalisis implikasi lokal dan sistemik dari implementasi EUDR, serta mengajukan pertanyaan dan memberikan masukan terkait celah-celah perbaikan. Tahun 2024 merupakan tahun yang sangat penting untuk mengatasi ketidakpastian dan tantangan yang terkait dengan peraturan tersebut, serta menyoroti karakter global dalam memerangi deforestasi, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Beberapa ke depan, yang ditandai dengan pemilihan umum di Parlemen Uni Eropa, menjadi kesempatan bagi para akademisi untuk berbagi wawasan kritis tentang hubungan antara wilayah ekstraksi dan wilayah konsumsi. 

Blog yang ditulis oleh anggota proyek EPICC ini memberikan gambaran umum tentang persyaratan EUDR dan temuan penelitian awal kami, yang berfungsi sebagai pengantar untuk publikasi kami mendatang yang membahas aspek-aspek ini lebih dalam.

2. Mengatur deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati 

    Uni Eropa merupakan konsumen utama komoditas-komoditas yang berkontribusi pada deforestasi di level global1. Dalam beberapa tahun terakhir, peran Uni Eropa terhadap deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati semakin dikecam oleh masyarakat sipil dan diakui di tingkat kebijakan Uni Eropa, serta dalam pernyataan-pernyataan yang tidak mengikat di tingkat internasional seperti Deklarasi New York dan Amsterdam. Konvergensi antara agenda regional dan internasional terlihat dalam sejumlah inisiatif Uni Eropa yang mempromosikan keberlanjutan perdagangan dan mengurangi dampak lingkungan Uni Eropa. Inisiatif-inisiatif ini dipromosikan oleh lembaga-lembaga Uni Eropa sebagai bagian dari komitmen internasionalnya, termasuk yang diuraikan dalam Perjanjian Paris dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan2.

    Sehubungan dengan EUDR, peraturan tersebut merupakan bagian dari rencana aksi Uni Eropa yang lebih luas untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan, seperti yang pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Uni Eropa 2019 tentang Peningkatan Aksi Uni Eropa untuk Melindungi dan Memulihkan Hutan Dunia. Janji ini kemudian dikonfirmasi oleh Kesepakatan Hijau Eropa, Strategi Keanekaragaman Hayati Uni Eropa untuk 2030, dan Strategi Farm to Fork. Oleh karena itu, EUDR mengikuti pola yang sama dalam hal legitimasi dan gagasan ‘penghijauan’ rantai nilai global yang dapat diamati melalui intervensi kebijakan dan peraturan Uni Eropa sebelumnya. Namun, seperti yang akan ditunjukkan di akhir blog ini, EUDR menggunakan beberapa inovasi yang signifikan dalam penindakannya.

    3. Cakupan peraturan

      EUDR dibuat berdasarkan kombinasi antara persyaratan ketertelusuran (traceability) dan uji tuntas untuk produsen dan operator yang menjual produknya ke pasar Uni Eropa atau mengekspor tujuh komoditas (sapi, kakao, kopi, kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu) dari Uni Eropa, serta beberapa produk terkait (misalnya daging sapi, mebel, palet, cokelat, dll.) yang diidentifikasi oleh kode tarif sistem harmonisasi (HS) dalam Lampiran I EUDR. Melalui penerapan beberapa persyaratan prosedural yang dibahas di bawah ini, EUDR bertujuan untuk memastikan bahwa semua produk yang diperkenalkan di pasar Uni Eropa atau yang diekspor dari Uni Eropa mematuhi standar hukum di negara produsen, bebas dari deforestasi, dan tidak terkait dengan degradasi hutan. Masing-masing dari ketiga persyaratan tersebut, beserta langkah-langkah prosedural yang harus dilakukan, memerlukan refleksi. Dalam blog ini, kami akan membahas refleksi tersebut, sedangkan di blog selanjutnya, kami akan memberikan diskusi yang lebih rinci dan penilaian kritis.

      3.2. Siapa yang memiliki kewajiban di bawah EUDR?

      EUDR berlaku untuk: 

      1. Operator, sesuai dengan EUDR, adalah “setiap individu perorangan atau badan hukum yang, dalam kegiatan komersial, menjual produk yang relevan di pasar Uni Eropa atau mengekspornya” (Pasal 2.15). Oleh karena itu, dalam konteks EUDR, operator umumnya merujuk pada pedagang komoditas yang terlibat dalam pembelian dan penjualan barang di sepanjang rantai pasok komoditas terkait. Operator yang menjual produk tertentu ke pasar Uni Eropa harus mengeluarkan pernyataan uji tuntas kepada otoritas yang berwenang, termasuk rincian dari Lampiran II untuk produk yang relevan dan pernyataan yang mengkonfirmasi pelaksanaan uji tuntas dengan temuan berupa ketiadaan dampak atau risiko yang dapat diabaikan dari praktik perdagangan (Pasal 4). 
      2. Pedagang, sesuai dengan EUDR, didefinisikan sebagai “setiap individu perseorangan atau badan hukum dalam rantai pasok selain operator yang, dalam rangka kegiatan komersial, menyediakan produk yang relevan di pasar” (Pasal 2.17). Hal ini mencakup pedagang grosir, pengecer, supermarket besar, dan entitas lain yang terlibat dalam menangani dan mendistribusikan produk dalam rantai pasok setelah diperkenalkan ke pasar oleh ‘operator’. EUDR mewajibkan ‘pedagang UKM’ untuk menyimpan dan membagikan informasi terkait rantai pasok komoditas, sementara ‘pedagang non-UKM’ untuk tunduk pada persyaratan yang sama dengan operator (Pasal 5).
      Gambar 2: Salah satu kapal Hannover di Pelabuhan Rotterdam, Belanda Foto oleh Luiz Jardim de Moraes Wanderley

      Penelitian kami menemukan adanya ketidakjelasan dalam definisi pedagang dan operator, dimana para pemangku kepentingan mengacu pada Peraturan Uni Eropa sebelumnya terkait komoditas kayu sebagai kerangka acuan, namun juga memberikan jawaban yang kontradiktif ketika diminta untuk menyebutkan perbedaan pedagang dan operator. Demikian pula, penting untuk menyoroti implikasi dari keputusan tersebut yang mengecualikan tanggung jawab dan kewajiban operator maritim (pemilik dan operator kapal curah atau peti kemas) yang terlibat dalam distribusi fisik, pengangkutan, dan logistik. Meskipun peran mereka sangat signifikan dalam kegiatan ekspor dan impor komoditas-komoditas tersebut, mereka bukan pihak yang seharusnya melakukan uji tuntas dan memberikan transparansi. 

      Selain itu, peraturan tersebut hanya berlaku bagi perusahaan yang menjual produk yang tercantum dalam Lampiran I, dan tidak mencakup mereka yang memasarkan produk olahan dengan kategori yang berbeda seperti biskuit atau makanan yang mengandung komoditas yang relevan3. Meskipun uji tuntas tidak berlaku untuk kategori tersebut, mereka masih mendapatkan dampak negatif dari penerapan EUDR yang berkaitan dengan komoditas yang mereka beli dan simpan, serta risiko memburuknya reputasi mereka karena menjual barang yang diasosiasikan dengan ilegalitas, deforestasi, atau degradasi hutan. Dengan demikian, EUDR dapat menjangkau mereka secara tidak langsung dan menyebabkan tidak hanya masalah administratif, namun juga meningkatnya kemungkinan bagi organisasi masyarakat sipil untuk mengecam segala bentuk ketidakpatuhan pada EUDR. 

      3.3. Apa saja kewajiban uji tuntas?

      Teori perubahan atau kesuksesan dari EUDR sangat bergantung pada penegakan sistem uji tuntas rantai pasok komoditas yang bersifat wajib. Sistem ini mencakup ketertelusuran yang komprehensif, kriteria uji tuntas minimum, dan standar kepatuhan yang transparan untuk operator dan pedagang. Pedagang dan operator harus memberikan pernyataan uji tuntas dengan informasi spesifik, menguraikan penilaian risiko yang dilakukan, dan menjelaskan langkah-langkah yang diambil untuk memitigasi risiko tersebut. Persyaratan utama untuk uji tuntas meliputi:

      1. Pengumpulan informasi spesifik, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 9: 
      • Operator dan pedagang non-UKM harus memberikan koordinat geografis yang spesifik, khususnya garis lintang dan garis bujur, terkait seluruh luasan tanah yang berkontribusi memasok komoditas (yaitu, persyaratan ketertelusuran). Representasi poligon diperlukan untuk bidang tanah yang melebihi 4 hektar dan digunakan untuk memproduksi komoditas selain sapi—hal ini tidak termasuk sebagian besar peternak skala kecil. Namun, EUDR melarang pendekatan neraca massa; sebagai gantinya, EUDR mewajibkan penelusuran setiap unit komoditas yang relevan ke bidang tanah tertentu. Masih terdapat ketidakpastian terkait bagaimana persyaratan ketertelusuran Uni Eropa akan diimplementasikan dan diselaraskan dengan sistem nasional yang ada.
      • Operator dan pedagang non-UKM harus mengumpulkan informasi yang mencantumkan konfirmasi kepatuhan komoditas relevan dengan undang-undang negara tempat komoditas tersebut diproduksi.
      1. Pasal 10 dan 11 memberikan mandat kepada operator dan pedagang non-UKM untuk melakukan penilaian risiko. Jika risiko terhadap level kepatuhan teridentifikasi, mereka harus membuat prosedur dan langkah-langkah mitigasi untuk meminimalkan risiko deforestasi hingga ke tingkat yang dianggap ‘dapat diabaikan’. Pertimbangan terkait hak asasi manusia di negara produksi harus diperhitungkan dalam penilaian risiko, dengan fokus pada ketersediaan mekanisme untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran, bukan pada pelanggaran itu sendiri.

      Intensitas kewajiban pedagang dan operator akan bergantung pada tingkat risiko yang dinilai melalui ‘database pusat penilaian risiko’ milik Komisi Eropa. Pemeringkatan tersebut seharusnya direalisasikan dalam waktu 18 bulan setelah EUDR berlaku, sehingga upaya penundaan dapat diperkirakan. Penilaian risiko negara menjadi aspek kunci dari EUDR, sehingga penilaian tersebut akan mencakup penyusunan sistem perbandingan (Pasal 29) dan karakterisasi negara-negara produsen ke dalam kategori ‘rendah’, ‘standar’, atau ‘berisiko tinggi’. Sistem perbandingan ini akan secara khusus menentukan tingkat uji tuntas untuk operator dan pedagang: persyaratan yang lebih berat berlaku untuk komoditas dari negara-negara berisiko ‘tinggi’, sementara negara-negara berisiko ‘rendah’ mendapatkan keuntungan dari uji tuntas yang disederhanakan berdasarkan Pasal 13. Klasifikasi risiko akan mempertimbangkan deforestasi, tingkat degradasi hutan, perluasan lahan pertanian untuk komoditas yang relevan, tren produksi, dan dapat mencakup faktor-faktor seperti hukum hak asasi manusia dan perlindungan untuk masyarakat adat dan masyarakat lokal.

      3.4. Siapa yang berkewajiban untuk menjamin dipatuhinya peraturan tersebut?

      Menurut EUDR, setiap Negara Anggota harus membentuk otoritas yang kompeten dengan sumber daya memadai yang bertanggung jawab untuk memverifikasi kepatuhan operator dan pedagang. Pihak berwenang diharapkan dapat melakukan pemeriksaan menggunakan pendekatan berbasis risiko pada saat memperkenalkan produk di pasar Uni Eropa dan ekspornya. Dengan membedakan negara menjadi tiga tingkat, otoritas negara anggota Uni Eropa dapat menerapkan pemeriksaan yang berbeda-beda terhadap operator berdasarkan tingkat risiko mereka: 9% untuk risiko tinggi, 3% untuk risiko standar, dan 1% untuk risiko rendah. Meskipun peraturan tersebut menetapkan persyaratan transparansi dan aksesibilitas, masing-masing negara anggota berperan secara signifikan dalam aspek pendanaan, struktur, mekanisme tata kelola, dan keseriusan pemerintah untuk mempengaruhi efektivitas pelaksanaan peraturan tersebut. Untuk itu, keputusan yang diambil oleh masing-masing negara anggota, termasuk dalam hal pendanaan proyek implementasi dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Eropa, perlu diteliti lebih lanjut dan menjadi perhatian publik.

      4. Refleksi dan pertimbangan tentang EUDR

        EUDR banyak diapresiasi oleh aktor-aktor Uni Eropa sebagai instrumen penting untuk memerangi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Banyak pemangku kepentingan Uni Eropa yang kami wawancarai menganggap EUDR sebagai sebuah inisiatif terobosan yang menempatkan deforestasi dan konservasi keanekaragaman hayati sebagai prioritas utama Uni Eropa, melabelinya sebagai ‘standar hijau baru’ dan menggambarkannya sebagai ‘legislasi yang ambisius’ untuk mengurangi deforestasi. Hubungan yang erat antara konsumsi di wilayah Uni Eropa dan dinamika deforestasi global digarisbawahi dalam mukadimah peraturan tersebut dan harus disambut sebagai catatan positif. Namun, karakter intervensi yang sepihak, isi, proses dan implikasi EUDR dalam sistem pangan global, dinamika ekologi dan konteks sosio-ekonomi lokal harus diteliti secara menyeluruh. Sebelum peraturan tersebut diberlakukan, terdapat tantangan dan kekurangan yang riil dalam EUDR, terutama terkait proses, hasil yang diharapkan, dan konsekuensi pada setiap teritori yang terlibat. Tantangan-tantangan ini mencakup narasi yang digunakan oleh para pemangku kepentingan Uni Eropa serta universalisasi dan normalisasi perspektif Uni Eropa.

        4.1. Proses yang benar-benar konsultatif?

        Penilaian dampak yang dilaksanakan tahun 2021 menuai kritik atas metodologi dan temuannya. Penilaian ini terutama dikritik karena kerangka acuan yang tidak jelas, ketidaksesuaian data4, kurangnya proses pengambilan keputusan yang inklusif, dan metodologi yang tidak jelas. Berbagai lembaga swadaya masyarakat juga menyoroti kurangnya pertimbangan dan perhatian terhadap kekhawatiran petani kecil5. Pada saat yang sama, terdapat kurangnya kejelasan dan informasi mengenai EUDR selama proses pengambilan keputusan, terutama bagi para petani, peternak, dan petani kecil di negara-negara produsen6. Meskipun jumlah konsultasi publik secara daring yang diluncurkan pada bulan September 2020 menunjukkan angka yang signifikan dengan lebih dari 1.193.652 pengajuan, mekanisme tersebut menimbulkan pertanyaan tentang tingkat partisipasi yang sebenarnya. Lebih dari 90% tanggapan berasal dari kuesioner yang telah diisi sebelumnya dan didistribusikan oleh LSM yang berbasis di Uni Eropa dengan sebagian besar menargetkan konsumen Uni Eropa. Hal ini tidak sejalan dengan karakterisasi konsultasi tersebut yang digadang-gadang sebagai petisi warga negara untuk EUDR, mengingat kuesioner tersebut diberikan dan dijawab oleh para responden. 

        Beberapa negara produsen juga menyampaikan keprihatinannya terkait konsultasi publik yang dianggap tidak memenuhi harapan akan keterlibatan dan dialog Uni Eropa dengan negara ketiga. Menariknya, terlepas dari sikap resmi Uni Eropa tentang konsultasi dan keterlibatan yang memastikan legitimasi yang luas, beberapa aktor yang diwawancarai menyatakan bahwa EUDR tidak ditujukan sebagai proses partisipatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran rantai nilai global sebagai ruang tata kelola global yang mengindikasikan bahwa aktor-aktor Uni Eropa tidak menganggap kurangnya transparansi dan keterlibatan pemangku kepentingan sebagai masalah dalam upaya mereka memerangi deforestasi di negara-negara produsen.

        4.2. Apa yang dimaksud dengan peraturan GVC bebas deforestasi yang baik dan siapa yang mendefinisikannya?

        Pengadopsian definisi hutan, deforestasi, dan degradasi hutan dari FAO oleh Uni Eropa—meskipun dibenarkan oleh para aktor Uni Eropa sebagai keselarasan dengan standar global—memiliki beberapa kelemahan. Pendefinisian tersebut berupaya untuk mencakup semua kategori hutan, menyederhanakan implementasi peraturan, dan mendorong konsistensi dengan peraturan Uni Eropa yang sudah ada. Meski demikian, hal ini menimbulkan kemungkinan tidak selarasnya definisi Uni Eropa dengan pemahaman yang beragam mengenai istilah-istilah tersebut di lapangan. Definisi tersebut mungkin juga tidak sesuai dengan definisi (hukum) yang digunakan di negara-negara produsen dan mungkin mengabaikan bentuk-bentuk interaksi lain dengan hutan seperti transfer pengetahuan antar generasi dan nilai-nilai budaya dan agama. Mengandalkan parameter kuantitatif yang diuraikan dalam Pasal 2.4, peraturan tersebut dapat mengabaikan jejaring hubungan sosial dan ekologis yang kompleks terkait ekosistem dan hutan, serta mengabaikan keanekaragaman biologis, siklus, dan budayanya (7). Pendekatan ini juga dapat mengecualikan ekosistem seperti Savana Brasil bernama Cerrado (79 juta hektar tidak terlindungi) dan Chaco (32 juta hektar tidak terlindungi) yang berada di luar definisi sempit dari Uni Eropa.

        4.3. Tolok ukur temporal

        Komisi Eropa mengkonfirmasi pemilihan tanggal 1 Januari 2021 sebagai tolak ukur temporal berlakunya EUDR—dibandingkan dengan tahun 2023 yang diusulkan oleh Dewan Eropa—untuk menyelaraskan EUDR dengan target SDG 15.2 dan standar internasional. Para pemangku kepentingan Uni Eropa berupaya memberikan rasionalisasi terhadap keputusan ini dengan menyatakan bahwa pengawasan terhadap produk yang diperkenalkan setelah tanggal tersebut akan berfokus pada penyederhanaan tingkat dan upaya minimalisasi dampak negatif terhadap petani kecil di negara ketiga. Namun, tolok ukur yang bersifat sementara ini memiliki kelemahan. Patokan tersebut tidak selaras dengan hukum dan peraturan lingkungan nasional yang lebih ketat, sehingga berpotensi memungkinkan beberapa aktor nasional untuk mengadvokasi persyaratan yang lebih lemah, seperti yang terlihat pada moratorium kedelai di Brasil. Selain itu, pemilihan tanggal yang dilakukan tanpa upaya mengkompensasi sejarah deforestasi yang melibatkan konsumsi Uni Eropa sebelumnya tidak akan cukup untuk mengatasi akar masalah deforestasi dan konflik penggunaan lahan. Organisasi masyarakat sipil juga berpendapat bahwa hal tersebut dapat memberikan penghargaan kepada produsen yang terlibat dalam deforestasi sebelum tanggal tersebut dan melemahkan inisiatif yang sudah ada di beberapa negara.

        4.4. Penerapan peraturan tersebut

        Implementasi EUDR memiliki tantangan dan pertanyaan yang serupa dengan prosesnya. Sistem perbandingan menimbulkan ketidakpastian mengenai partisipasi, kriteria, dan tolok ukur dari EUDR. Beberapa mekanisme dianggap masih kurang jelas, seperti metodologi untuk melakukan penilaian risiko dan penggunaan data dari negara-negara produsen. Aspek partisipasi pemangku kepentingan juga dianggap bermasalah karena tidak ada kejelasan terkait sejauh mana suara-suara yang beragam dari lapangan atau dari lembaga negara di level nasional akan diutamakan. Secara khusus, ketergesaan dalam memenuhi persyaratan EUDR, terutama persyaratan legalitas, dapat berdampak signifikan terhadap proses-proses di level lokal, khususnya upaya oleh masyarakat adat, para pemukim, dan komunitas lain yang menantang legalitas dan batas-batas yang dipaksakan di sekitar lahan mereka. Terakhir, hasil dari sistem perbandingan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan terkait potensi pergeseran perdagangan Uni Eropa dari negara-negara produsen ‘berisiko tinggi’ ke arah negara-negara produsen ‘berisiko rendah’.

        Gambar 3: Fragmentasi hutan dan intensifikasi padang rumput di Dataran Tinggi Santareno, Negara Bagian Para, Amazon Brasil. Foto oleh Tomaso Ferrando

        Hubungan antara EUDR dan sistem sertifikasi lingkungan dan sosial yang diinisiasi oleh lembaga privat merupakan area lain yang saling bertentangan. EUDR mengakui bahwa skema sertifikasi dapat digunakan oleh anggota rantai pasok untuk membantu penilaian risiko mereka, tetapi tidak dapat digantikan (Pasal 10.2). Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai masa depan mekanisme sertifikasi privat dan klaim keberlanjutan yang berpotensi menjadi kurang menarik bagi para pelaku pasar yang menginginkan produk bebas deforestasi. Kekhawatiran ini semakin meluas karena adanya ketidakkonsistenan antara tanggal batas akhir EUDR dan tanggal batas akhir internal skema sertifikasi, yang menimbulkan beban peraturan pada perusahaan swasta dan berpotensi menyebabkan masalah persaingan dan keadilan di antara para anggotanya.

        4.5 Privatisasi persyaratan hukum?

        Seperti yang telah disebutkan di atas, EUDR mengharuskan pedagang dan operator untuk melakukan penilaian kepatuhan terhadap kerangka hukum yang relevan sebagai bagian dari proses uji tuntas mereka. Bagi beberapa pihak, persyaratan ‘legalitas’ merupakan langkah maju yang positif, sehingga beberapa organisasi masyarakat sipil dan kelompok-kelompok lingkungan hidup menekankan pentingnya daftar referensi hukum yang luas dan penyertaan kerangka kerja peraturan utama seperti hak-hak atas tanah, hak-hak masyarakat adat, dan kewajiban-kewajiban hak asasi manusia internasional. Namun, pengenalan referensi-referensi dalam teks tersebut tidak dapat dilihat sebagai sebuah keberhasilan. Sebaliknya, hal ini harus ditafsirkan dalam konteks pendekatan privatisasi terhadap kepatuhan hukum, di mana para pedagang dan operator—yang seringkali berasal dari wilayah yang jauh dari tempat komoditas diproduksi—menjadi pihak yang harus menilai dan mengesahkan legalitas produksi. Hal ini dapat memberikan dampak yang buruk, tergantung pada sumber informasi hukum dan penafsirannya, serta pada bagaimana ‘legalitas’ didefinisikan. Di Brazil, misalnya, Rural Environmental Registry (CAR, singkatan dari bahasa Portugis) adalah sistem di mana hak atas tanah dikomunikasikan dan diakui. Selama beberapa dekade, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil telah mengecam bahwa CAR digunakan oleh perusahaan swasta untuk mendaftarkan bidang-bidang tanah yang direbut kembali oleh masyarakat adat. Jika CAR digunakan oleh para pedagang, operator, dan negara anggota dalam penilaian legalitas mereka, resikonya adalah memformalisasi pendudukan mereka dan berdampak negatif pada perlawanan teritorial.

        5. Kesimpulan dan pertimbangan yang lebih luas

          Rantai nilai global (GVC) berperan dalam membangun hubungan material dan immaterial antara berbagai tempat, sejarah, dan budaya. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi inisiasi pengaturan sepihak seperti EUDR untuk mengakui dan mengintegrasikan kompleksitas kapitalisme global beserta dinamika sosial dan lingkungannya. Untuk EPICC, fokus penelitian harus diberikan tidak hanya pada aspek teknis EUDR tetapi juga pada pertimbangan yang lebih luas yang muncul dari penggunaan mekanisme tata kelola perdagangan unilateral. Mulai tahun 2024 dan seterusnya, peninjauan ulang terhadap peraturan tersebut akan dilakukan untuk mengatasi isu-isu yang belum terselesaikan, seperti penyertaan lahan dan komoditas berhutan lainnya, serta memperluas cakupan peraturan tersebut agar mempertimbangkan ekosistem tambahan dan sektor keuangan. Tinjauan komprehensif kedepannya juga akan diarahkan untuk melihat isu-isu lain, seperti dampak EUDR terhadap masyarakat adat. Baik proses implementasi maupun tinjauan tersebut memberikan peluang intervensi dan penyesuaian dengan menggarisbawahi pentingnya dukungan berbasis ilmu pengetahuan dalam pembuatan kebijakan.

          Blog ini diakhiri dengan menyoroti pertimbangan-pertimbangan yang lebih luas yang tidak hanya relevan untuk EUDR, tetapi juga untuk perangkat kebijakan di masa depan seperti Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon dan pengaturan wajib lainnya untuk entitas yang mengenalkan komoditas di wilayah Uni Eropa. Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek-aspek ini akan disampaikan dalam publikasi mendatang karena pentingnya aspek-aspek tersebut:

          1. Keberlanjutan bukan konsep satu dimensi;
          2. Lingkungan, khususnya alam dan hutan, bukan sumber daya yang digunakan hanya untuk dikelola dan diperdagangkan. Keanekaragaman hayati tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan berada di luar masyarakat. Hutan tidak hanya menyediakan penghidupan bagi masyarakat, tetapi juga memfasilitasi bentuk-bentuk keanekaragaman sosial yang meregenerasi proses-proses ekologis. Tujuan tersebut dapat dicapai tidak hanya dengan menambahkan komponen hak asasi manusia ke dalam peraturan, namun juga dengan memikirkan ulang seluruh kerangka kerja yang sudah ada. 
          3. Implementasi peraturan tersebut harus dicermati dan dievaluasi ‘dari bawah’ dengan mempertimbangkan implikasi yang mungkin timbul dari terhadap klaim atas tanah dan akses terhadap sumber daya alam di masa lalu, saat ini, dan di masa depan.
          4. Tata kelola rantai nilai global tidak dapat mengasumsikan bahwa petani dan peternak di negara-negara Selatan adalah penyedia bahan baku untuk rantai nilai tersebut. Hal ini dapat menyebabkan distribusi nilai yang tidak merata dan berkontribusi pada tingginya tingkat kerawanan dan ketidakstabilan pangan lokal.
          5. Uni Eropa perlu memberikan respon yang memadai terkait peran historisnya dalam kerusakan ekologis di teritori produsen, alih-alih hanya memberikan pengaturan baru. Uni Eropa tidak dapat menciptakan arena pengaturan yang ramah lingkungan tanpa secara memadai melaksanakan tanggung jawabnya.

          Catatan Akhir


          1. Simon L. Bager, U. Martin Persson, dan Tiago N. P. dos Reis, “Delapan Puluh Enam Opsi Kebijakan Uni Eropa untuk Mengurangi Deforestasi Impor,” One Earth 4, no. 2 (Februari 19, 2021): 289-306. ↩︎
          2. Untuk contoh, lihat: Deklarasi Pemimpin Glasgow 2021 tentang Hutan dan Penggunaan Lahan; Komunikasi dari Komisi: Meningkatkan tindakan Uni Eropa untuk melindungi dan memulihkan hutan dunia (23 Juli 2019); Strategi Hutan UE; Strategi Keanekaragaman Hayati UE 2020; Peraturan Mineral Konflik UE (2017) yang berlaku sejak 1 Januari 2021; Peraturan Kayu Uni Eropa (EUTR); Rencana Aksi Penegakan dan Tata Kelola Hukum Kehutanan (Forest Law Enforcement and Governance/FLEGT) dan perjanjian kemitraan sukarela (VPA) terkait dengan negara-negara produsen. ↩︎
          3. Parlemen Eropa, “Parlemen mengadopsi undang-undang baru untuk memerangi deforestasi global”, Siaran Pers tanggal 19 April 2023, tersedia di: https://www.europarl.europa.eu/news/en/press-room/20230414IPR80129/parliament-adopts-new-law-to-fight-global-deforestation ↩︎
          4. Pendrill, F., Persson, U.M. dan Kastner, T., Angka-angka yang cacat mendukung rekomendasi untuk mengecualikan komoditas dari legislasi deforestasi Uni Eropa, Focali Brief No 2021:02, 2021, Gothenburg. ↩︎
          5. Fair Trade Advocacy Office (FTAO), “Rantai pasok bebas deforestasi, tersedia di: https://fairtrade-advocacy.org/our-work/eu-policies/sustainable-and-deforestation-free-supply-chains/ ; Institute for European Environmental Policy, “Mengamankan posisi petani kecil dalam rantai pasok bebas deforestasi”, tersedia di: https://ieep.eu/publications/securing-the-position-of-smallholders-in-zero-deforestation-supply-chains/ ↩︎
          6. Bagi EPICC, petani kecil dipahami sebagai petani yang menggarap lahan kecil, sebagian besar kurang dari dua hektar, lihat Ferrando, T., dan Mpofu, E., “Peasants as Cosmopolitan Insurgents”, (2022): 96. ↩︎
          Share the Post: